PERTANYAAN :
Assalamualaikum. Tanaman Singkong sawit dan karet menurut hasil bahstul masail dalam kitab referensi amaliah nu, tidak wajib dizakati karena tidak termasuk kategori yang wajib dizakati. Pertanyaannya :
1. Jika seorang petani punya tanah puluhan hektar yang ditanami karet sawit dan singkong apakah tetap tidak wajib zakat ? sedangkan petani padi yang punya lahan setengah hektar saja sudah wajib zakat jika memenuhi syarat..
2. Apakah dizaman imam syafi'i sudah ada tanaman karet sawit dan singkong? kalau seumpama belum ada, apakah ada ulama yang mengqiyaskan tanaman-tanaman tersebut dengan padi / gandum / harta dagangan ? [Abu Irvani].
JAWABAN :
Wa'alaikumussalam. Dalam Madzhab Syafi'i Tanaman Singkong, sawit dan karet itu tidak Wajib Zakat, karena tsamar dalam zakat (syafi'iyah) termasuk perkara ta'abbudi. Sedangkan dalam madzhab Hanafiy Tanaman Singkong, sawit dan karet itu masuk Wajib Zakat.
Berikut hasil bahtsul masaail tentang zakat tanaman karet, sawit dan singkong :
1. Zakat Tanaman Karet : Apakah tanaman karet wajib di zakati ? Berapa nisabnya ?
Menurut ulama Hanafiyah dan pendapat Imam Syafi’i dalam qaul qadim, tanaman karet wajib di zakati dengan 10%. Karena, disamakan dengan tanaman zaitun yang dibuat minyak. Menurut Abu Hanifah, segala tanaman yang meningkatkan hasil bumi wajib dikeluarkan zakatnya dengan 10% jika disirami dengan air hujan dan 5% jika di sirami dengan pengairan yang diusahakan sendiri, semisal dengan cara pengeboran dan Iain-Iain. Dan menurut Imam Syafi’i, wajib dikelurkan zakatnya 2,5%, apabila penghasilan berupa uang sudah satu nisab emas (77,5 gr) dan mencapai satu tahun, atau kurang satu nisab tapi punya uang yang dapat memenuhi satu nisab, sebagai mana keterangan di bawah ini:
Artinya: “Dan diambil zakat dari keduanya (kurma dan anggur) sepersepuluh (10%) jika disirami dengan air hujan atau sumber mata air, dan setengahnya sepersepuluh (seperduapuluh atau 5%) jika disirami dengan cara menuangkan (mengusahakan) air sendiri.
Para ulama mengambil persamaan hukum dari zaitun dengan kurma dan anggur.” (ar Risalah juz 1 hal. 223, 224.)
Imam Syafi’i berkata: “Imam Malik pernah bercerita bahwa beliau bertanya kepada Ibnu Syihab mengenai (zakat) dari tanaman zaitun, maka Ibnu Syihab menjawab, ‘Zakatnya sepersepuluh (10%).’
Namun, Imam Malik berbeda pendapat. Beliau berpendapat, ‘Tidak diambil (zakatnya) sepersepuluh (10%) kecuali dari minyaknya, sedangkan jawaban Ibnu Syihab dari bijinya’.” (al ‘Um juz 7 hal. 260)
Artinya: “Abu Hanifah berpendapat tentang tanaman yang dihasilkan bumi, sedikit ataupun banyak zakatnya adalah sepersepuluh (10%). Takaran sedikit di sini adalah satu sha’’ sedangkan sebawahnya tidak termasuk. Namun menurut pendapat lain, takaran terkecil adalah separuh sha’. Dan dalam permasalahan minyak wijen, terdapat kewajiban membayar zakat sepersepuluh (10%). Jika dipanen sebelum diambil sepersepuluhnya, maka diambilkan dari minyaknya. Dan tidak ada zakat dari tanaman belukar sebagaimana tanaman zaitun. Dan dalam qaul shahih, wajib zakat pula sepersepuluh (10%) dari tanaman kenari, buah badam atau almond, bawang merah, dan bawang putih.” (al Jauharat an Nayirah juz 1 hal 481, 482.)
Nah, dalam tanaman apapun yang dihasilkan oleh bumi, semua ada zakatnya. Sedangkan ukuran satu sha’ dalam hitungan gram negara Irak adalah 2197,444 gr, dalam hitungan gram negara Mesir adalah 2162,784 gr, dalam hitungan ‘urf Usmany 2390,1536 gr, dalam hitungan Syar’i Abu Hanifah 2613,364 gr, dalam hitungan 3 Imam (selain Abu Hanifah) 1882,038 gr. Namun sebagian ulama ada beberapa pendapat yang menghitung sekitar 2,5 kg. Wallohu a'lam [Sumber: Lirboyo.Net]
2. Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (LBM-PWNU) Sumatera Selatan Di PP. Nurul Huda Ds. Sukaraja Kec. Buay Madang OKU Timur. Tanggal 29 Mei 2010 / 16 Jumadil Akhir 1431 H.
Dewasa ini muncul kesimpangsiuran di tengah masyarakat, ada yang mengatakan bahwa karet, sawit, dan usaha sarang wallet adalah sesuatu yang harus dizakati, dan ada yang mengatakan tidak. Dalam pelaksanaanya pun prosentasenya tidak sama, ada yang mengeluarkan 2,5 %, dan ada yang menyamakan dengan zakatnya tanaman.
Pertanyaan:
a. Wajibkah karet, sawit, dan wallet dizakati ?
b. Jika wajib berapa persen dan bagaimana cara pengeluarannya?
( Dari: PCNU OKI )
Jawaban:
a. Untuk karet dan sawit wajib dizakati menurut Madzhab Abu Hanifah. Sedangkan untuk usaha walet tidak wajib dizakati, kecuali apabila uang yang berlaku dianggap sama seperti emas atau perak (mata uang rupiah dijadikan sebagai alat transaksi yang senilai dengan emas atau perak) maka hasil penjualan walet, atau karet dan sawit wajib dizakati sebagaimana zakat emas atau perak.
b. Cara pengeluarannya;
untuk karet dan sawit wajib dikeluarkan zakatnya setiap panen sebagaimana zakat tanaman, hanya saja Imam Abu Hanifah tidak mensyaratkan nishob, sehingga berapapun hasilnya wajib dikeluarkan zakatnya seperti persentase zakat tanaman.
Sedangkan hasil dari usaha walet, apabila uang rupiah -yang diperoleh dari penjualan-dianggap sama seperti emas dan perak, maka nishob dan cara pengeluaran zakatnya sebagaimana zakatnya emas dan perak. Hanya saja boleh zakat itu dikeluarkan setiap waktu memanen sarang walet asalkan sudah mencapai satu nishob. Hal ini disebut sebagai ta’jil al-zakat qabl al-haul (mempercepat pengeluaran zakat sebelum masa setahun).
Kitab Itsmid al-Ain, hlm. 47-48: “Permasalahan: Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa sesuatu yang dihasilkan dari bumi itu wajib dikeluarkan zakatnya kecuali kayu bakar, tebu dan rumput. Imam Abu Hanifah juga tidak mensyaratkan nishob dalam zakat ini.
3. Lajnah Bahtsul Masail MUDI Mesjid Raya Samalanga : Zakat Kelapa Sawit dalam Mazhab Syafii
Indonesia merupakan Negeri yang subur, sehingga dapat di tanami berbagai macam tanaman produktif. salah satu tanaman produktif yang sangat menjanjikan yang banyak di kembangkan di negara kita ini adalah kelapa sawit, baik milik masyarakat maupun milik negara. Masyarakat yang memiliki kebun sawit akan memiliki harapan penghasilan yang menjanjikan apalagi ketika harga sawit sedang melonjak tinggi.
Pertanyaan:
Apakah kelapa sawit juga di wajibkan zakat berdasarkan Mazhab Syafii?
Jawaban:
Dalam Mazhab Syafii hasil tanaman yang di kenakan zakat hanyalah kurma, anggur dan makanan pokok yang lain. Hal ini berlandaskan perintah Rasulullah SAW kepada shahabat Mu`az bin Jabal ketika beliau di utus ke negri Yaman, Rasulullah bersabda:
Imam Syafii memahami illat wajib zakat kepada 4 macam hasil tanaman tersebut adalah makanan pokok (iqtiyat) dan tahan lama sehingga bisa di simpan sebagai bekal makanan pokok (iddikhar). Adapun pembatasan Rasulullah dalam hadits hanya kepada 4 macam jenis tanaman karena di Yaman saat itu hanya terdapat empat macam jenis tanaman di atas yang di manfaatkan sebagai makanan pokok, dengan kata lain hashar dalam hadits tersebut adalah hatsar idhafy. Maka biji-bijian yang lain yang dapat di manfaatkan sebagai makanan pokok juga wajib zakat seperti beras, jagung dan beberapa jenis kacang-kacangan.
Sedangkan selain dari jenis tanaman tersebut maka tidak di wajibkan, karena tidak ada dalil hadits yang dapat di jadikan hujjah sebagai landasan kewajiban tersebut.
Kalau seandainya jenis tanaman yang lain juga di wajibkan zakat pasti akan ada riwayat baik perbuatan maupun ucapan Rasulullah yang mengisyaratkan kepada wajibnya zakat pada tanaman tersebut sebagaimana ada riwayat yang menceritakan Rasulullah mewajibkan zakat pada kurma dan anggur, padahal pada masa tersebut, di jazirah Arab sendiri juga terdapat berbagai jenis tanaman yang lain.
Maka dapat disimpulkan bahwa tanaman yang wajib di zakati terbatas hanya pada yang disebutkan dalam nash atau tanaman lain yang mengandung makna yang sama seperti yang ada dalam nash.
Dalam qaul qadim, Imam Syafi’i pernah berpendapat wajib zakat pada beberapa jenis tanaman yang bukan makanan pokok, yaitu buah zaitun, za’faran (Crocus Sativus), waras (sejenis tanaman serupa za`faran) dan qurthum (Carthamus).
Hal yang mendasari beliau berpendapat wajibnya zakat pada beberapa tumbuhan diatas adalah karena beliau berpegang pada beberapa Atsar Shahabah.
Dimana dalam qaul qadim Imam Syafii, qaul shahabah bisa dijadikan sebagai hujjah selain dari al-quran, hadits, ijmak dan qiyas.
Misalnya pada masalah zaitun, ada riwayat Umar ra yang di riwayatkan oleh Imam Baihaqi:
Artinya: diriwayatkan dari Umar r.a bahwasanya beliau pernah menyurati pegawainya di negeri Syam untuk mengambil zakat dari buah zaitun. ( HR. Baihaqi).
Selain itu juga ada riwayat yang di riwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah yang menceritakan bahwa Ibnu Abbas mewajibkan zakat pada zaitun. Namun ketika sampai di Mesir, dalam qaul jadid Imam Syafii merujuk pendapat beliau yang mewajibkan zakat pada zaitun, beliau berpendapat bahwa zaitun, wars, qurthum, za`faran tidak wajib zakat karena semua hadits yang menerangkan kewajiban zakat pada beberapa jenis tanaman tersebut adalah dhaif dan sama sekali tidak dapat di jadikan hujjah dan merupakan qaul shahabat dimana dalam qaul jadid, Imam Syafii tidak menjadikan qaul shahabat sebagai hujjah hukum.
Selain itu beberapa jenis tanaman tersebut juga tidak dapat di analogikan kepada jenis tanaman yang tersebut dalam hadits yang shahih, karena illat hukum wajib zakat kepada kurma dan anggur adalah makanan pokok dan bisa di simpan lama, kedua makna ini tidak ada pada zaitun, za`faran, qurthum dan wars. Atas dasar inilah dalam qaul jadid jenis tanaman yang wajib di zakati hanyalah anggur, kurma dan semua jenis biji-bijian yang dapat di manfaatkan sebagai makanan pokok. Maka dari uraian di atas dapatlah kita simpulkan bagaimana status hukum zakat pada tanaman sawit.
Dalam mazhab Syafii, tanaman sawit tidak dikenakan kewajiban zakat dengan alasan karena ia bukan termasuk dalam jenis tanaman yang disebutkan dalam nash dan bukan pula jenis tanaman yang dapat di analogikan (qiyas) kepada beberapa jenis tanaman yang di sebutkan dalam hadits yang shahih, karena illat hukum wajib zakat pada tanaman adalah makanan pokok sedangkan sawit bukanlah makanan pokok sehingga tidak dapat sama sekali di qiyaskan kepada jenis tanaman yang ada dalam nash.
Namun, walaupun tidak wajib zakat, para pengusaha sawit haruslah memperbanyak infaq dan shadaqahnya karena dengan shadaqah Allah akan memberikan keberkahan dan menjauhkan pemilik harta dari mala petaka, selain itu orang kaya juga punya kewajiban membantu orang-orang miskin dan anak-anak yatim apalagi pada saat negara tidak memperdulikan keberadaan mereka.
Nash Kutub Mu`tabarah:
al Hawil Kabir Jld:4 Hal: 225-227 Cet.Darul Fikri :
Wallohu a'lam. [Moh Showi, Rumput Ilalang, Umam Zein].
Berikut hasil bahtsul masaail tentang zakat tanaman karet, sawit dan singkong :
1. Zakat Tanaman Karet : Apakah tanaman karet wajib di zakati ? Berapa nisabnya ?
Menurut ulama Hanafiyah dan pendapat Imam Syafi’i dalam qaul qadim, tanaman karet wajib di zakati dengan 10%. Karena, disamakan dengan tanaman zaitun yang dibuat minyak. Menurut Abu Hanifah, segala tanaman yang meningkatkan hasil bumi wajib dikeluarkan zakatnya dengan 10% jika disirami dengan air hujan dan 5% jika di sirami dengan pengairan yang diusahakan sendiri, semisal dengan cara pengeboran dan Iain-Iain. Dan menurut Imam Syafi’i, wajib dikelurkan zakatnya 2,5%, apabila penghasilan berupa uang sudah satu nisab emas (77,5 gr) dan mencapai satu tahun, atau kurang satu nisab tapi punya uang yang dapat memenuhi satu nisab, sebagai mana keterangan di bawah ini:
وَأُخِذَ مِنْهُمَا مَعًا الْعُشْرُ إِذَا سُقِيَا بِسَمَاءٍ أَوْ عَيْنٍ، وَنِصْفُ الْعُشْرِ إِذَا سُقِيَا بِغُرْبٍ. وَقَدْ أَخَذَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنَ الزَّيْتُوْنِ قِيَاسًا عَلَى النَّخْلِ وَالْعِنَبِ.
Artinya: “Dan diambil zakat dari keduanya (kurma dan anggur) sepersepuluh (10%) jika disirami dengan air hujan atau sumber mata air, dan setengahnya sepersepuluh (seperduapuluh atau 5%) jika disirami dengan cara menuangkan (mengusahakan) air sendiri.
Para ulama mengambil persamaan hukum dari zaitun dengan kurma dan anggur.” (ar Risalah juz 1 hal. 223, 224.)
(قَالَ الشَّافِعِيُّ): أَخْبَرَنَا مَالِكٌ أَنَّهُ سَأَلَ ابْنَ شِهَابٍ عَنِ الزَّيْتُونِ فَقَالَ: فِيهِ الْعُشْرُ وَخَالَفَهُ مَالِكٌ فَقَالَ: لَا يُؤْخَذُ الْعُشْرُ إلَّا مِنْ زَيْتِهِ وَجَوَابُ ابْنِ شِهَابٍ عَلَى حَبِّهِ.
Imam Syafi’i berkata: “Imam Malik pernah bercerita bahwa beliau bertanya kepada Ibnu Syihab mengenai (zakat) dari tanaman zaitun, maka Ibnu Syihab menjawab, ‘Zakatnya sepersepuluh (10%).’
Namun, Imam Malik berbeda pendapat. Beliau berpendapat, ‘Tidak diambil (zakatnya) sepersepuluh (10%) kecuali dari minyaknya, sedangkan jawaban Ibnu Syihab dari bijinya’.” (al ‘Um juz 7 hal. 260)
(قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ فِي قَلِيلِ مَا أَخْرَجَتْهُ الْأَرْضُ وَكَثِيرِهِ الْعُشْرُ) حَدُّ الْقَلِيلِ الصَّاعُ وَمَا دُونَهُ لَا شَيْءَ فِيهِ وَقِيلَ حَدُّهُ نِصْفُ صَاعٍ. وَفِي السِّمْسِمِ الْعُشْرُ فَإِنْ عُصِرَ قَبْلَ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْهُ الْعُشْرُ أُخِذَ مِنْ دُهْنِهِ وَلَمْ يُؤْخَذْ مِنَ الشُّجَيْرَةِ شَيْءٌ وَكَذَا الزَّيْتُونُ عَلَى هَذَا وَيَجِبُ الْعُشْرُ فِي الْجَوْزِ وَاللَّوْزِ وَالْبَصَلِ وَالثُّومِ فِي الصَّحِيحِ.
Artinya: “Abu Hanifah berpendapat tentang tanaman yang dihasilkan bumi, sedikit ataupun banyak zakatnya adalah sepersepuluh (10%). Takaran sedikit di sini adalah satu sha’’ sedangkan sebawahnya tidak termasuk. Namun menurut pendapat lain, takaran terkecil adalah separuh sha’. Dan dalam permasalahan minyak wijen, terdapat kewajiban membayar zakat sepersepuluh (10%). Jika dipanen sebelum diambil sepersepuluhnya, maka diambilkan dari minyaknya. Dan tidak ada zakat dari tanaman belukar sebagaimana tanaman zaitun. Dan dalam qaul shahih, wajib zakat pula sepersepuluh (10%) dari tanaman kenari, buah badam atau almond, bawang merah, dan bawang putih.” (al Jauharat an Nayirah juz 1 hal 481, 482.)
Nah, dalam tanaman apapun yang dihasilkan oleh bumi, semua ada zakatnya. Sedangkan ukuran satu sha’ dalam hitungan gram negara Irak adalah 2197,444 gr, dalam hitungan gram negara Mesir adalah 2162,784 gr, dalam hitungan ‘urf Usmany 2390,1536 gr, dalam hitungan Syar’i Abu Hanifah 2613,364 gr, dalam hitungan 3 Imam (selain Abu Hanifah) 1882,038 gr. Namun sebagian ulama ada beberapa pendapat yang menghitung sekitar 2,5 kg. Wallohu a'lam [Sumber: Lirboyo.Net]
2. Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (LBM-PWNU) Sumatera Selatan Di PP. Nurul Huda Ds. Sukaraja Kec. Buay Madang OKU Timur. Tanggal 29 Mei 2010 / 16 Jumadil Akhir 1431 H.
Dewasa ini muncul kesimpangsiuran di tengah masyarakat, ada yang mengatakan bahwa karet, sawit, dan usaha sarang wallet adalah sesuatu yang harus dizakati, dan ada yang mengatakan tidak. Dalam pelaksanaanya pun prosentasenya tidak sama, ada yang mengeluarkan 2,5 %, dan ada yang menyamakan dengan zakatnya tanaman.
Pertanyaan:
a. Wajibkah karet, sawit, dan wallet dizakati ?
b. Jika wajib berapa persen dan bagaimana cara pengeluarannya?
( Dari: PCNU OKI )
Jawaban:
a. Untuk karet dan sawit wajib dizakati menurut Madzhab Abu Hanifah. Sedangkan untuk usaha walet tidak wajib dizakati, kecuali apabila uang yang berlaku dianggap sama seperti emas atau perak (mata uang rupiah dijadikan sebagai alat transaksi yang senilai dengan emas atau perak) maka hasil penjualan walet, atau karet dan sawit wajib dizakati sebagaimana zakat emas atau perak.
b. Cara pengeluarannya;
untuk karet dan sawit wajib dikeluarkan zakatnya setiap panen sebagaimana zakat tanaman, hanya saja Imam Abu Hanifah tidak mensyaratkan nishob, sehingga berapapun hasilnya wajib dikeluarkan zakatnya seperti persentase zakat tanaman.
Sedangkan hasil dari usaha walet, apabila uang rupiah -yang diperoleh dari penjualan-dianggap sama seperti emas dan perak, maka nishob dan cara pengeluaran zakatnya sebagaimana zakatnya emas dan perak. Hanya saja boleh zakat itu dikeluarkan setiap waktu memanen sarang walet asalkan sudah mencapai satu nishob. Hal ini disebut sebagai ta’jil al-zakat qabl al-haul (mempercepat pengeluaran zakat sebelum masa setahun).
إِثْمِدُ الْعَيْنِ: ص.47-48
مَسْأَلَةٌ : أَفَادَ أَيْضًا أَنَّ مَذْهَبَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وُجُوْبُ الزَّكَاةِ فِي كُلِّ مَا خَرَجَ مِنَ اْلأَرْضِ إِلاَّ حَطَبًا أَوْ قَصَبًا أَوْ حَشِيْشًا، وَلاَ يَعْتَبِرُ نِصَابًا
Kitab Itsmid al-Ain, hlm. 47-48: “Permasalahan: Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa sesuatu yang dihasilkan dari bumi itu wajib dikeluarkan zakatnya kecuali kayu bakar, tebu dan rumput. Imam Abu Hanifah juga tidak mensyaratkan nishob dalam zakat ini.
3. Lajnah Bahtsul Masail MUDI Mesjid Raya Samalanga : Zakat Kelapa Sawit dalam Mazhab Syafii
Indonesia merupakan Negeri yang subur, sehingga dapat di tanami berbagai macam tanaman produktif. salah satu tanaman produktif yang sangat menjanjikan yang banyak di kembangkan di negara kita ini adalah kelapa sawit, baik milik masyarakat maupun milik negara. Masyarakat yang memiliki kebun sawit akan memiliki harapan penghasilan yang menjanjikan apalagi ketika harga sawit sedang melonjak tinggi.
Pertanyaan:
Apakah kelapa sawit juga di wajibkan zakat berdasarkan Mazhab Syafii?
Jawaban:
Dalam Mazhab Syafii hasil tanaman yang di kenakan zakat hanyalah kurma, anggur dan makanan pokok yang lain. Hal ini berlandaskan perintah Rasulullah SAW kepada shahabat Mu`az bin Jabal ketika beliau di utus ke negri Yaman, Rasulullah bersabda:
" لا تأخذ العشر إلا من أربعة : الحنطة ، والشعير ، والنخل ، والعنب "
“ Jangan engkau ambil kadar 1/10 untuk zakat malainkan dari empat macam tumbuhan, yaitu gandum, biji sya’ir, kurma dan anggur.” (H.R. Baihaqi)Imam Syafii memahami illat wajib zakat kepada 4 macam hasil tanaman tersebut adalah makanan pokok (iqtiyat) dan tahan lama sehingga bisa di simpan sebagai bekal makanan pokok (iddikhar). Adapun pembatasan Rasulullah dalam hadits hanya kepada 4 macam jenis tanaman karena di Yaman saat itu hanya terdapat empat macam jenis tanaman di atas yang di manfaatkan sebagai makanan pokok, dengan kata lain hashar dalam hadits tersebut adalah hatsar idhafy. Maka biji-bijian yang lain yang dapat di manfaatkan sebagai makanan pokok juga wajib zakat seperti beras, jagung dan beberapa jenis kacang-kacangan.
Sedangkan selain dari jenis tanaman tersebut maka tidak di wajibkan, karena tidak ada dalil hadits yang dapat di jadikan hujjah sebagai landasan kewajiban tersebut.
Kalau seandainya jenis tanaman yang lain juga di wajibkan zakat pasti akan ada riwayat baik perbuatan maupun ucapan Rasulullah yang mengisyaratkan kepada wajibnya zakat pada tanaman tersebut sebagaimana ada riwayat yang menceritakan Rasulullah mewajibkan zakat pada kurma dan anggur, padahal pada masa tersebut, di jazirah Arab sendiri juga terdapat berbagai jenis tanaman yang lain.
Maka dapat disimpulkan bahwa tanaman yang wajib di zakati terbatas hanya pada yang disebutkan dalam nash atau tanaman lain yang mengandung makna yang sama seperti yang ada dalam nash.
Dalam qaul qadim, Imam Syafi’i pernah berpendapat wajib zakat pada beberapa jenis tanaman yang bukan makanan pokok, yaitu buah zaitun, za’faran (Crocus Sativus), waras (sejenis tanaman serupa za`faran) dan qurthum (Carthamus).
Hal yang mendasari beliau berpendapat wajibnya zakat pada beberapa tumbuhan diatas adalah karena beliau berpegang pada beberapa Atsar Shahabah.
Dimana dalam qaul qadim Imam Syafii, qaul shahabah bisa dijadikan sebagai hujjah selain dari al-quran, hadits, ijmak dan qiyas.
Misalnya pada masalah zaitun, ada riwayat Umar ra yang di riwayatkan oleh Imam Baihaqi:
عن عمر رضي الله عنه أنه كتب إلى عامله بالشام أن يأخذ زكاة الزيتون .
Artinya: diriwayatkan dari Umar r.a bahwasanya beliau pernah menyurati pegawainya di negeri Syam untuk mengambil zakat dari buah zaitun. ( HR. Baihaqi).
Selain itu juga ada riwayat yang di riwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah yang menceritakan bahwa Ibnu Abbas mewajibkan zakat pada zaitun. Namun ketika sampai di Mesir, dalam qaul jadid Imam Syafii merujuk pendapat beliau yang mewajibkan zakat pada zaitun, beliau berpendapat bahwa zaitun, wars, qurthum, za`faran tidak wajib zakat karena semua hadits yang menerangkan kewajiban zakat pada beberapa jenis tanaman tersebut adalah dhaif dan sama sekali tidak dapat di jadikan hujjah dan merupakan qaul shahabat dimana dalam qaul jadid, Imam Syafii tidak menjadikan qaul shahabat sebagai hujjah hukum.
Selain itu beberapa jenis tanaman tersebut juga tidak dapat di analogikan kepada jenis tanaman yang tersebut dalam hadits yang shahih, karena illat hukum wajib zakat kepada kurma dan anggur adalah makanan pokok dan bisa di simpan lama, kedua makna ini tidak ada pada zaitun, za`faran, qurthum dan wars. Atas dasar inilah dalam qaul jadid jenis tanaman yang wajib di zakati hanyalah anggur, kurma dan semua jenis biji-bijian yang dapat di manfaatkan sebagai makanan pokok. Maka dari uraian di atas dapatlah kita simpulkan bagaimana status hukum zakat pada tanaman sawit.
Dalam mazhab Syafii, tanaman sawit tidak dikenakan kewajiban zakat dengan alasan karena ia bukan termasuk dalam jenis tanaman yang disebutkan dalam nash dan bukan pula jenis tanaman yang dapat di analogikan (qiyas) kepada beberapa jenis tanaman yang di sebutkan dalam hadits yang shahih, karena illat hukum wajib zakat pada tanaman adalah makanan pokok sedangkan sawit bukanlah makanan pokok sehingga tidak dapat sama sekali di qiyaskan kepada jenis tanaman yang ada dalam nash.
Namun, walaupun tidak wajib zakat, para pengusaha sawit haruslah memperbanyak infaq dan shadaqahnya karena dengan shadaqah Allah akan memberikan keberkahan dan menjauhkan pemilik harta dari mala petaka, selain itu orang kaya juga punya kewajiban membantu orang-orang miskin dan anak-anak yatim apalagi pada saat negara tidak memperdulikan keberadaan mereka.
Nash Kutub Mu`tabarah:
al Hawil Kabir Jld:4 Hal: 225-227 Cet.Darul Fikri :
مسألة : قال الشافعي : " ولا تؤخذ صدقة شيء من الشجر غير العنب والنخل فإن رسول الله {صلى الله عليه وسلم} أخذ الصدقة منهما وكلاهما قوت ولا شيء في الزيتون : لأنه يؤكل أدما ولا في الجوز ولا في اللوز وغيره مما يكون أدما وييبس ويدخر : لأنه فاكهة : لأنه كان بالحجاز قوتا علمناه ولأن الخبر في النخل والعنب خاص " .
قال الماوردي : اعلم أن ما تنبته الأرض نوعان زرع وشجر ، فالزرع يأتي حكمه ، والشجر خرصه ، وزكاته ينقسم في الحكم ثلاثة أقسام ، قسم لا يختلف مذهب الشافعي وغيره أن زكاته واجبة ، وهو النخل والكرم وقد مضى الكلام فيهما ، وقسم لا يختلف مذهب الشافعي أن لا زكاة فيه وإن خالفه غيره وهو الرمان ، والسفرجل ، والتفاح ، والمشمش ، والكمثرى ، والجوز ، والخوخ ، واللوز ، وما عدا ما ذكر في القسم الماضي وما يذكر في القسم الآتي ، وقسم اختلف مذهب الشافعي في بعضه وعلق القول في بعضه ، وهو أربعة أجناس الزيتون ، والورس ، والزعفران والقرطم ، وعلق القول في خامس ليس من جنسها وهو العسل
فأما الزيتون فله في إيجاب زكاته قولان : أحدهما : وهو قوله في القديم فيه الزكاة ، وبه قال مالك : لقوله تعالى : وهو الذي أنشأ جنات معروشات وغير معروشات والنخل والزرع مختلفا أكله والزيتون والرمان متشابها وغير متشابه كلوا من ثمره إذا أثمر وآتوا حقه يوم حصاده " ، [ الأنعام : ] ، فاقتضى أن يكون الأمر بإتيان الحق راجعا إلى جميع المذكور من قبل . وروي عن عمر رضي الله عنه أنه كتب إلى عامله بالشام أن يأخذ زكاة الزيتون .
وروي عن ابن عباس رضي الله عنه أنه قال : في الزيتون العشر ، ولا مخالف لهما في أصحابه فكان إجماعا ، ولأن عادة أهل بلاده جارية بادخاره واقتنائه كالشام وغيرها مما يكثر نبات الزيتون بها ، فجرى مجرى التمر والزبيب ، فاقتضى أن تجب فيه الزكاة .
والقول الثاني : نص عليه في الجديد وهو الصحيح وبه قال ابن أبي ليلى والحسن بن أبي صالح لا زكاة فيه ، لما روي أن النبي {صلى الله عليه وسلم} لما بعث معاذا إلى اليمن قال له : " لا تأخذ العشر إلا من أربعة : الحنطة ، والشعير ، والنخل ، والعنب " ، فأثبت الزكاة في الأربعة ونفاها فيما عدا ذلك ، ولأنه قد كان موجودا على عهد رسول الله {صلى الله عليه وسلم} فيما افتتحه من مخاليف اليمن وأطراف الشام ، فلم ينقل أنه أخذ زكاة شيء منه ، ولو وجبت زكاته لنقلت عنه قولا وفعلا كما نقلت زكاة النخل والكرم قولا وفعلا ، ولأنه وإن كثر من بلاده فإنه لا يقتات منفردا كالتمر والزبيب ، وإنما يؤكل أدما ، والزكاة تجب في الأقوات ولا تجب في الإدام
Wallohu a'lam. [Moh Showi, Rumput Ilalang, Umam Zein].
Ibarot Tambahan :
أنوار المسالك صحـ : 8
وَلاَ تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي الثِّمَارِ أَيْ ثِمَارِ اْلأَشْجَارِ إِلاَّ فِي الرُّطَبِ وَالْعِنَبِ اهـ
المجموع الجزء 5 صحـ : 437 مكتبة مطبعة المنيرية
( فَرْعٌ ) فِيْ مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ فِيْ هَذِهِ الْمَذْكُوْرَاتِ مَذْهَبُنَا أَنَّهُ لاَ زَكَاةَ فِيْ غَيْرِ النَّخْلِ وَالْعِنَبِ مِنَ اْلأَشْجَارِ وَلاَ فِيْ شَيْءٍ مِنَ الْحُبُوْبِ إِلاَّ فِيْمَا يُقْتَاتُ وَيُدَّخَرُ وَلاَ زَكَاةَ فِي الْخَضْرَاوَاتِ وَبِهَذَا كُلِّهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَبُو يُوْسُفَ وَمُحَمَّدٌ وَقَالَ أَبُوْ حَنِيفَةَ وَزُفَرُ يَجِبُ الْعُشُرُ فِيْ كُلِّ مَا أَخْرَجَتْهُ اْلأَرْضُ إِلاَّ الْحَطَبَ وَالْقَصْبَ الْفَارِسِيَّ وَالْحَشِيْشَ الَّذِيْ يَنْبُتُ بِنَفْسِهِ وَقَالَ الْعَبْدَرِيُّ وَقَالَ الثَّوْرِيُّ وَابْنُ أَبِيْ لَيْلَى لَيْسَ فِيْ شَيْءٍ مِنَ الزُّرُوْعِ زَكَاةٌ إِلاَّ التَّمْرُ وَالزَّبِيْبُ وَالْحِنْطَةُ وَالشَّعِيْرُ وَقَالَ أَحْمَدُ يَجِبُ الْعُشُرُ فِيْ كُلِّ مَا يُكَالُ وَيُدَّخَرُ مِنَ الزَّرْعِ وَالثِّمَارِ فَأَمَّا مَا لاَ يُكَالُ كَالْقِثَّاءِ وَالْبَصَلِ وَالْخِيَارِ وَالْبِطِّيْخِ وَالرَّيَاحِيْنِ وَجَمِيْعِ الْبُقُوْلِ فَلَيْسَ فِيْهَا زَكَاةٌ وَأَوْجَبَ أَبُو يُوْسُفَ الزَّكَاةَ فِي الْحِنَّاءِ اه
المجموع شرح المهذب ج 5 ص 456
فرع في مذاهب العلماء في هذه المذكورات مذهبنا أنه لا زكاة في غير النخل والعنب من الأشجار ولا في شيء من الحبوب إلاّ فيما يقتات ويدخر ولا زكاة في الخضراوات، وبهذا كله قال مالك وأبو يوسف ومحمد . وقال أبو حنيفة وزفر: يجب العشر في كل ما أخرجته الأرض إلاّ الحطب والقصب الفارسي والحشيش الذي ينبت بنفسه، وقال العبدري : وقال الثوري وابن أبي ليلى : ليس في شيء من الزروع زكاة إلاّ التمر والزبيب والحنطة والشعير وقال أحمد : يجب العشر في كل ما يكال ويدخر من الزرع والثمار. فأما ما لا يكال كالقثاء والبصل والخيار والبطيخ والرياحين وجميع البقول فليس فيها زكاة، وأوجب أبو يوسف الزكاة في الحناء وقال محمد: لا زكاة وقال داود : ما أنبتته الأرض ضربان: موسق وغيره، فما كان موسقاً وجبت الزكاة فيما بلغ منه خمسة أوسق ولا زكاة فيما دونها، وما كان غير موسق ففي قليله وكثيره الزكاة. وأما الزيتون فقد ذكرنا أن الصحيح عندنا أنه لا زكاة فيه، وبه قال الحسن بن صالح وابن أبي ليلى وأبو عبيد . وقال الزهري والأوزاعي والليث ومالك والثوري وأبو حنيفة وأبو ثور : فيه الزكاة. قال الزهري والليث والأوزاعي : يخرص فتأخذ زكاته زيتاً. وقال مالك : لا يخرص بل يؤخذ العشر بعد عصره وبلوغه خمسة أوسق، وأما العسل فالصحيح عندنا لا زكاة فيه مطلقاً، وبه قال مالك والثوري والحسن بن صالح وابن أبي ليلى وابن المنذر وروينا هذا عن ابن عمر وعمر بن عبد العزيز، وقال أبو حنيفة والأوزاعي : إن وجد في غير أرض الخراج ففيه العشر. وقال أحمد وإسحاق . يجب فيه العشر سواء كان في أرض الخراج أو غيرها ونقله ابن المنذر عن مكحول وسليمان بن موسى والأوزاعي وأحمد وإسحاق وشرط أبو يوسف ومحمد في وجوب زكاته أن يبلغ خمسة أوسق، وأوجبها أبو حنيفة في قليله وكثيره.
بغية المسترشدين ج 1 ص 199
فائدة: مذهب أبي حنيفة وجوب الزكاة في كل ما يخرج من الأرض إلا الحطب والقصب والحشيش، ولا يعتبر عنده النصاب، ومذهب أحمد تجب فيما يكال أو يوزن ويدخر من القوت ولا بد من النصاب، ومذهب مالك كالشافعي اهـ قلائد.
إثمد العينين في بعض اختلاف الشيخين ص 47-48
(مسألة): أفاد أيضاً أن مذهب أبي حنيفة وجوب الزكاة في كل ما خرج من الأرض إلا حطباً أو قصباً أو حشيشاً، ولا يعتبر نصاباً، وعند الإمام أحمد فيما يكال أو يوزن أو يدخر للقوت، ولا بد من النصاب عند مالك كالشافعي، اهـ قلائد باقشير.
المذاهب الأربعة ج 1 ص 616
وحكم زكاة الزرع والثمار هو أنه يجب فيها العشر إذا كانت خارجة من أرض تسقى بالمطر أو السيح أي الماء الذي يسيح على الأرض من المصارف ونحوها ونصف العشر إذا كانت خارجة من أرض تسقى بالدلاء ونحوها ... إلى أن قال ... وسواء كان قليلا أو كثيرا فلا يشترط فيها نصاب ولا حولان حول إهـ.
الدر المختار شرح تنوير الأبصار ج 2 ص 355
(و) تجب في (مَسْقى سماء) أي مطر (وسيح) كنهر (بلا شَرْط نصاب) راجع للكل (و) بِلا شَرْط (بقاء) وحَوَلان حول، لأنَّ فيه مَعْنى المُؤْنة، ولذا كان للإِمَام أَخْذه جَبْراً، ويُؤْخذ من التَّركة ويجب مع الدَّين وفي أَرْض صغير ومَجْنون ومكاتب ومأذون ووقف، وتَسْميته زكاة مجاز (إِلاَّ في) ما لا يقصد به اسْتِغْلاَل الأَرْض (نَحْو حطب وقَصَب) فارسي (وحشيش) وتبن وسعف وصَمْغ وقَطْران وخطمي وأشنان وشجر وقُطْن وباذنجان وبزر وبطيخ وقثاء، وأدوية كحلبة وشونيز حتى لو أشغل أَرْضه بها يجب العُشْر.
حاشية رد المحتار على الدر المختار ج 2 ص 355
قوله: (بلا شرط نصاب) فيجب فيما دون النِّصاب بشرط أن يبلغ صاعاً، وقيل نصفه، وفي الخضروات التي لا تبقى وهذا قول الإمام، وهو الصَّحيح كما في «التُّحْفة»؛ وقالا: لا يجب إلاَّ فيما له ثمرة باقية حولاً بِشَرْط أن يبلغ خمسة أوسق إن كان مما يوسق، والوسق ستون صاعاً كل صاع أربعة أمناء، وإلاَّ فحتى يبلغ قيمة نصاب من أَدْنى الموسوق عند الثاني، واعتبر الثالث خمسة أمثال مما يقدر به نوعه، ففي القطن خمسة أحمال، وفي العَسَل أفراق، وفي السكر أمناء. وتمامه في «النَّهْر». قوله: (وحولان حول) حتى لو أخرجت الأرض مراراً وجب في كل مرَّة، لإِطْلاق النصوص عن قيد الحول، ولأنَّ العُشْر في الخارج حقيقة فيتكرر بتكرره، وكذا خراج المقاسمة لأنه في الخارج، فأما خراج الوظيفة فلا يجب في السنة إلاَّ مرَّة، لأنه ليس في الخارج بل في الذمة.
تحفة الأحوذي
تنبيه : مذهب جمهور أهل العلم والأئمة الأربعة : وجوب العشر في جميع الحبوب من الحنطة والشعير والعدس والحمص والأرز ونحو ذلك . قال الإمام مالك في موطئه : والحبوب التي فيها الزكاة : الحنطة والشعير والسلت والذرة والدخن والأرز والعدس والجلبان واللوبيا والجلجلان ، وما أشبه ذلك من الحبوب التي تصير طعاما ، فالزكاة تؤخذ منها كلها بعد أن تحصد وتصير حبا ، انتهى .
وتمسكوا بعموم أحاديث الباب وبعموم الآيات التي تدل على وجوب العشر . وذهب الحسن البصري والحسن بن صالح والثوري والشعبي وابن سيرين ، إلى أنه لا يجب الزكاة إلا في الشعير والحنطة والزبيب والتمر ، فوجوب العشر عند هؤلاء منحصر في هذه الأربعة ، واحتجوا بما روى الطبراني والحاكم والدارقطني عن أبي موسى الأشعري ومعاذ أن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال لهما : " لا تأخذا الصدقة إلا من هذه الأصناف الأربعة الشعير والحنطة والزبيب والتمر " .
قال صاحب سبل السلام : قال البيهقي : رواته ثقات وهو متصل ، وروى الطبراني من حديث موسى بن طلحة عن عمر : إنما سن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- الزكاة في هذه الأربعة فذكرها ، قال أبو زرعة : إنه مرسل ، ورجح هذا المذهب حيث قال : فالأوضح دليلا مع الحاصرين للوجوب في هذه الأربعة ، انتهى .
وكذا رجح الشوكاني في النيل هذا المذهب حيث قال : فالحق أن الزكاة لا تجب إلا في البر والشعير والتمر والزبيب لا فيما عدا الأربعة مما أخرجت الأرض . قال : وأما زيادة الذرة في حديث عمرو بن شعيب فقد عرفت أن في إسنادها متروكا لكنها معتضدة بمرسل مجاهد والحسن ، انتهى .
قلت : في سند حديث أبي موسى ومعاذ المذكور طلحة بن يحيى وهو مختلف فيه ، قال الحافظ في الدراية : وروى الحاكم من طريق أبي بردة عن أبي موسى ومعاذ حين بعثهما النبي -صلى الله عليه وسلم- إلى اليمن : " لا تأخذوا الصدقة إلا من هذه الأربعة " فذكرها ، ورواه البيهقي عنهما موقوفا ، وفي الإسناد طلحة بن يحيى مختلف فيه ، وهو أمثل مما في الباب انتهى كلام الحافظ .
ثم الحصر فيه ليس حصرا حقيقيا وإلا يلزم أن لا تجب الزكاة في صنف غير هذه الأصناف الأربعة ، واللازم باطل فالملزوم مثله ، بل الحصر فيه إضافي . قال القاري في المرقاة في [ ص: 236 ] شرح هذا الحديث : والحصر فيه إضافي انتهى . والدليل على كون هذا الحصر إضافيا ما رواه الحاكم في المستدرك عن معاذ -رضي الله عنه- أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قال : " فيما سقت السماء والبعل والسيل العشر ، وفيما سقي بالنضح نصف العشر " ، وإنما يكون ذلك في التمر والحنطة والحبوب ، وأما القثاء والبطيخ والرمان والقصب فقد عفى عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قال الحاكم : هذا حديث صحيح الإسناد ولم يخرجاه . فالحق عندي ما ذهب إليه الجمهور ، والله تعالى أعلم .
بشرى الكريم
تنبيه: مذهب أبي حنيفة: وجوب الزكاة في كل ما خرج من الأرض إلا الحطب والقصب والحشيش، ولا يعتبر عنده النصاب.
المنهاج القويم
"لا تجب" الزكاة الآتية "إلا في الأقوات" أي التي يقتات بها اختيارًا ولو نادرًا. "وهي من الثمار الرطب والعنب" دون غيرهما من سائر الثمار للخبر الصحيح: "فأما القثاء1 والبطيخ والرمان فعفو عفا عنه صلى الله عليه وسلم". "ومن الحب الحنطة والشعير والأرز" والذرة والدخن2 والعدس والبسلاء3 والحمص والباقلاء واللوبياء ويسمى الدجر4 والجلبان5 والماش6 وهو نوع منه. "وسائر ما يقتات" أي ما يقوم به بدن الإنسان غالبًا "في حال الاختيار" فتجب الزكاة في الجميع لورودها في بعضه وألحق به الباقي، ووجه اختصاص الوجوب بما ذكر دون غيره مما لا يقتات كالزعفران والورس والعسل والقرطم7 والترمس وحب الفجل والسمسم والبطيخ والكمثرى والرمان والزيتون وغيرها ومما يقتات لا في حال الاختيار كحب الغاسول8 وحب الحنظل والحلبة؛ لأن الاقتيات به ضروري للحياة فوجب فيه حق لأرباب الضرورات.
LINK ASAL :