Arab Pegon, Aksara Pemersatu dan Pamor Bangsa di Masa Lalu


Aksara Arab gundul atau yang di daerah pesisir utara Pulau Jawa disebut Arab pegon diyakini telah digunakan masyarakat Jawa sejak awal tahun 1400 Masehi. Kala itu, aksara Latin ala Belanda diharamkan karena identik dengan penjajahan.

Hal tersebut membuat huruf Arab pegon berjaya sebagai medium komunikasi banyak kalangan, mulai dari pedagang, pemuka agama, hingga pejuang kemerdekaan.

Dalam Seminar dan Kajian Literasi Arab Pegon di Masjid Sulthoni Pathok Plosokuning, Sleman, Yogyakarta, Senin (27/3), Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yudian Wahyudi, mengatakan, huruf Arab pegon sempat digunakan sebagai aksara pemersatu. Setiap kesultanan yang saat itu diduduki perusahaan dagang VOC berkomunikasi menggunakan huruf ini.

"Huruf ini sempat jadi simbol perlawanan budaya dan politik yang membuat Nusantara tidak kalah pamor dengan kekhalifahan di Timur Tengah dari sisi budaya literasi," ujarnya.

Kata _pegon_ berasal dari kata _pego_ yang dalam bahasa Jawa bermakna 'menyimpang'. Sebab, huruf pegon memang menyimpang dari literatur Arab dan juga menyimpang dari literatur Jawa. Tulisan Arab pegon menggunakan huruf Arab atau aksara hijaiyah, tetapi apabila dibaca atau dilafalkan membentuk kalimat bahasa Jawa.

Untuk kalangan yang lebih luas, huruf Arab pegon dikenal dengan istilah huruf Arab Melayu. Pasalnya, huruf ini digunakan secara luas di kawasan Melayu, mulai dari Trengganu (Malaysia), Aceh, Riau, Sumatera, Jawa (Indonesia), Brunei, hingga Thailand bagian selatan.

"Orang Arab asli tak akan bisa membaca tulisan Arab pegon. Seandainya bisa pun tidak akan sejelas penutur Jawa atau Melayu asli," kata Yudian.

*Penutur pertama*

Belum dapat dipastikan, siapa orang pertama yang menginisiasi penggunaan huruf Arab untuk pelafalan kalimat dalam bahasa Jawa ataupun Melayu. Namun menurut beberapa literatur, huruf Arab pegon muncul pada abad ke-15 atas gagasan Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya, Jawa Timur.

Namun, beberapa literatur juga menyebutkan, aksara Arab pegon tidak lepas dari sejarah Pangeran Diponegoro. Saat dia ditangkap Belanda, banyak pengikutnya yang terdiri dari kalangan bangsawan dan ulama memilih menyingkir.

"Setelah itu banyak ulama yang singgah di Pacitan dan mendirikan pondok pesantren. Dari situlah Arab pegon digunakan dalam keseharian karena militansi mereka yang anti penjajah," tutur Yudian.

Pengasuh Pondok Pesantren Qashrul Arifin Yogyakarta, Kyai Ruhullah Taqi Murwat, yang akrab disapa Gus Taqi, menilai huruf pegon mencerminkan sikap toleran masyarakat Jawa terhadap budaya asing.

Dalam perjalanan sejarah, masyarakat Jawa tak hanya menyerap unsur asing itu, tetapi juga mengembangkan dan menyesuaikannya dengan budaya yang sudah berkembang terlebih dahulu. "Arab pegon memang bentuk budaya akulturasi. Saat penjajahan, Arab pegon sebagai pemersatu peradaban Nusantara yang tengah terjajah," ujarnya.

Yudian mengatakan, sekitar 20 tahun sebelum kemerdekaan, sejak Sumpah Pemuda berkumandang pada 1928, peran aksara Arab pegon mulai pudar. Sebabnya, Sumpah Pemuda menyatakan bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa.

"Ditambah program baca tulis Latin oleh pemerintah sebagai upaya pemberantasan buta huruf semakin gencar, penggunaan Arab pegon semakin ditinggalkan, termasuk di wilayah Keraton Yogyakarta," ujarnya.

Gus Taqi menambahkan, pada era 1990-an, masyarakat Dusun Plosokuning, Desa Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Sleman, masih banyak yang menggunakan huruf Arab pegon dalam keseharian. Namun, generasi setelahnya tak lagi mempelajari huruf Arab pegon karena tak merasa membutuhkan.

"Jika mau sebenarnya upaya pelestarian dan literasi yang baik bisa menjadikan Arab pegon kembali populer dan menjadi identitas keistimewaan Yogyakarta," ujar Gus Taqi.

Oleh: DIMAS W NUGRAHA
____________________________
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 April 2017, di halaman 12 dengan judul "Arab Pegon, Pamor Bangsa di Masa Lalu".